Rabu, 26 November 2014

Ketika Iman Uji Logika

Semalam, aku rasa punggungku berat dan dada kembang kempis tanda kelelahan. Peluh memang tidak jatuh melembabkan permukaan kulit disebabkan cuaca dingin musim penghujan ini. Kulucuti helai-helai kain, bergegas me-relax-kan tubuh di malam sunyi. Air meluruhkan debu-debu yang sejak tadi berteman dengan tubuh. Segar... aduhai nikmat cipta Allah berupa air yang menyejukkan.

Setelah rampung dan lepas dari rasa pegal, aku duduk di tengah ruang keluarga. Ada orangtuaku yang tengah berdebat. Sedari tadi memang mereka tak hiraukan kedatanganku, pun salam hanya dijawab seadanya seraya melanjutkan kembali perdebatan mereka.

Niatku pulang ke rumah adalah untuk mendapatkan ketentraman yang sebelumnya belum aku dapatkan di tengah hiruk-pikuk manusia. Nyatanya, aku dapati kembali ketidak tentraman ini di dalam rumah.

Topik perdebatan malam itu adalah Ketetapan Allah,Tuhan seluruh alam. Bahwasanya, hidup, mati, rejeki, jodoh, maut bahkan hingga surga dan neraka sudah ditetapkan oleh-Nya di Lauh Mahfuz. Dituturkan bahwa Allah Maha Tau atas segala ciptaannya, mulai dari jutaan 'kecebong'  yang masuk ke dalam rahim, dari jutaan sel yang berlomba-lomba mencapai indung telur, satu persatu Allah telah menetapkan dan mengetahui karakter dan nasibnya. Memang  benar, sangat benar.

Kedua belah pihak menyetujui dan sepakat semata-mata karena Iman kepada Tuhannya, Allah Subhanahu wata'ala. Namun, hal yang memicu 'debat' malam itu adalah dengan argumentasi salah satu pihak mengenai keutamaan berserah diri (pasrah kepada Allah) dan ketetapan surga dan neraka bagi manusia yang sudah digariskan. Perselisihan semakin sengit tatkala mereka melemparkan argumen berdasarkan dalil dan hadist, shahih maupun dhoif. "Kasihan" kata yang menyulut ketidakselarasan dan kesalahpahaman antara keduanya.

"Kalau begitu kasihan dong manusia yang telah ditakdirkan menjadi penghuni neraka, sedangkan ia telah berusaha menjadi sebaik-baiknya hamba semasa hidup di dunia." Ya, memang manusia telah diperingatkan oleh kisah-kisah di masalalu (tertulis dalam Qur'an) yang menyeru untuk beriman dan tidak mendustakan ayat-ayatNya. Dalam perjalanannya, hamba-hamba ini dibekali oleh akal dan logika untuk meresapi serta men-tadaburi pesan dan peringatan kalam-kalam Ilahi Rabbi.

Aku tak habis pikir, bagaimana hal mengenai keimanan seseorang harus diperdebatkan dan dipaksakan. Bahkan, iman saja tidak akan dapat diwarisi walau ia lahir dari ayah yang bertaqwa. Bukankah, urusan manusia adalah berusaha untuk menjadi prajurid agamanya? Prajurid yang senantiasa menjaga kehormatan dan keimanan terhadap ke-tauhid-an Allahu Rabbi. Berserah diri pun memang baik, namun tentu setiap hal ada kadarnya masing-masing kecuali kadar keimanan, ketaqwaan, keihsanan serta kecintaan kepada Rabbnya yang tiada batas.

Apabila hamba berusaha untuk mengetuk pintu-pintu kasih sayang-Nya, maka dengan izin Allah, ia akan menjadi hamba yang baik dan bertaqwa. Aku mengimani bahwa agama yang melekat sejak lahir bersamaku adalah agama yang akan menjaga kestabilitasan hidup dan menebar rahmat bagi umat manusia yang lain.

Wallahu'alam bisshawab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar